Aku mengangguk kecil, menunjukkan bahwa aku mengerti semuanya.
Lalu aku teringat tentang suatu pembicaraan kami yang belum tuntas tempo hari,
dan aku segera menanyakannya.
“Oh, tentang orang-orangan sawah itu….” Ia bergumam.
Aku membenarkan.
Ia kemudian duduk di anak tangga teratas terasku, meraih cangkir
plastic yang berisi teh manis yang tadi disuguhkan emak, dan menyeruputnya.
Kembali ia menjelaskan dengan pelan-pelan padaku.
“Menurutku, perumpamaan itu kubandingkan dengan kehidupan kita.
Aku pernah melihat ada burung-burung pipit yang senang menghinggapi
orang-orangan sawah, tetapi aku juga sering melihat orang-orangan sawah yang
bekerja sesuai tugasnya, yaitu mengusir burung-burung pipit itu pergi dari
sawah dan membuat mereka membencinya.” Ia berhenti sejenak, lalu meneruskannya.
Aku hanya mengangguk kecil. Dia melanjutkan.
“Itu jika suasana sedang tenang, petani tak ada, dan orang-orangan
sawah diam saja kerana tidak ada yang menggerakkannya. Dan mungkin, wajah
orang-orangan sawah itu tidak dibuat sejelek wajah orang yang sedang marah
sehingga menakutkan burung pipit. Mungkin kali ini ia dibuat seseorang yang
sedang berbahagia, jadi kebahagiannya itu menular pada orang-orangan sawah yang
sedang dibuatnya…” Kak Iman tersenyum. Aku pun ikut tersenyum kecil.
Aku membayangkan orang-orangan sawah yang bermuka ramah dan
dikerubungi para burung pipit yang menyukainya. Sesekali bahkan, beberapa
burung pipit menawarinya bijih padi, walaupun orang-orangan sawah itu tidak
memakannya.
“Sekarang kita ibaratkan orang-orangan sawah itu sebagai manusia,
tetapi kebalikannya, “ katanya serius. “Kukatakan sekali lagi, ini
kebalikannya. Allah menciptakan manusia itu ada tujuannya, iaitu untuk menjadi
khalifah di bumi. Khalifah itu bahasa Arab, Ta. Artinya pemimpin, penguasa,”
jelasnya sejenak. Aku mengangguk-ngangguk, sennag karena diajari banyak hal
yang hebat, walaupun kadang-kadang aku menemui kesulitan. Aku juga senang sebab
ketika melihatku seperti kebingungan, ia bersedia mengulanginya lagi atau
menjelaskan dengan pelan-pelan. Benar-benar pencerita yang hebat. Ilmu yang
didapatnya di kota pasti banyak sekali. Aku ingin sekali menjadi sepintar
dirinya.
“Artinya, sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di bumi,
manusia diwajibkan bertingkah laku baik terhadap sesamanya dan makhluk lain. Ia
harus menjadi sahabat bagi siapa saja dan menyebarkan kebaikan kepada semua
yang berada di dekatnya. Itu tugasnya. Tetapi, ia sendiri yang akan menentukan
apakah tugasnya itu akan berhasil atau tidak. Walaupun ia diciptakan Allah
dengan tujuan kebaikan, jika ia tidak berkenan atau tidak punya niat itu,
misalnya ia sendiri tidak bersikap ramah, tidak membuka diri, dan memasang muka
menyebalkan, menakutkan atau membuat orang lain enggan atau tidak simpati….
Coba kita piker…? Ia berpaling sebentar
padaku. “Siapa yang akan mendekatinya? Siapa yang mau menyapa dan berteman
dengannya? Ada tidak yang mau bermain bersamanya?”
Lama aku termenung.
Siapa yang akan mendekatinya? Siapa yang
mau menyapa dan berteman dengannya? Ada tidak yang mau bermain bersamanya?
Orang yang seperti itu……. Mungkin aku. Buruk sekali rupanya.
Lama kemudian, barulah aku mengangguk mengerti. Orang-orangan
sawah yang diciptakan untuk dijauhi burung pipit saja kadang-kadang bisa
menjadi teman bermain… mengapa manusia yang diciptakan untuk berbuat kebaikan
kepada semua yang ada di sekelilingnya terkadang bisa menjadi orang yang
dijauhi?
“Inilah perbandingan kebalikan, ‘Kak Iman tersenyum melihat aku
yang mengangguk-ngangguk, lalu kembali memandang sawah. “Kalau istilah kerennya,
analogi kebalikan. Dulu, sewaktu aku kecil, banyak yang tidak mneyukaiku.
Katanya mukaku bukan muka bersahabat dan aku terlihat seperti orang egois yang
memikirkan dirinya sendiri saja. Aku kemudian menyadari itu dan berusaha
mengubah tampilku. Kalau kita berharap orang akan mengubah sikap yang buruk
kepada kita dengan sendirinya, itu salah. Kitalah yang pertama-tama harus
mengubahnya. Kata Allah, Ia tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum
itu sendiri yang berusaha mengubahnya. Seperti itu jugalah nasib kita
masing-masing. Manusia adalah perencana saja, sedangkan pemutus segala
sesuatunya adalah Allah.”
Aku mencuba memahaminya lagi. Semuanya.
“Berani kukatakan,” ia menoleh sedikit padaku. “kau sebenarnya
memiliki kecerdasan. Jelas sekali itu terlihat olehku. Kau punya hak untuk
mengembangkannya. Kau harus maju, Ta.”
Aku menghela napas, tidak menjawab. Itu mungkin benar. Hanya saja,
mungkin aku belum menemukan kesempatan yang baik untuk hidupku. Tuhan ingin aku
berpikir dulu… tentang kepahitan dan pelajaran darinya. Kalimat terakhir Kak
Iman tadi itu sungguh menggugah kelemahanku. Aku pun menginginkan itu.
Ah, andai dia tahu betapa banyak aku memiliki mimpi , termasuk
bersekolah lebih tinggi dan menjadi orang yang berhasil. Di antara mimpiku yang
banyak, itu mimpi yang tertinggi dan kadang-kadang membuatku kehilangan
keberanian, karena aku merasa itu sesuatu yang nyaris tidak mungkin untuk
kudapatkan.
Tetapi baiklah. Demi semua yang telah dilakukan orang-orang yang
begitu baik padaku ini, Kak Iman dan keluarganya, aku pun harus punya tekad.
Sore ini menjadi saksi. Tekadku telah terpatri.
“Kak…..” Terbata aku bersuara, haru. Ia menoleh.
“Terima kasih ya, sudah menyemangati Ita….” Kataku.
Ia hanya tersenyum.
-Cinta Sang Penjaga Telaga-
0 comments:
Post a Comment
Komen anda..